Kaidah Ke-61 : Darurat Tidak Menggugurkan Hak Orang Lain
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Ke Enam Puluh Satu
الاِضْطِرَارُ لاَ يُبْطِلُ حَقَّ الْغَيْرِ
Keadaan darurat tidak menggugurkan hak orang lain
MAKNA KAIDAH
Kaidah ini merupakan salah satu cabang kaidah “Kesulitan menjadi sebab adanya kemudahan” yang termasuk salah satu dari lima kaidah besar dalam pembahasan fiqih. Juga merupakan penjelasan lanjutan dari kaidah “Keadaan darurat menjadi sebab diperbolehkannya perkara yang dilarang.”[1]
Sebagaimana telah kita fahami bahwa seseorang yang berada dalam keadaan darurat, yang menyebabkannya harus mengonsumi sesuatu yang haram, maka ia diberikan udzur untuk melakukannya. Misalnya, orang yang sangat lapar dan tidak ada makanan yang didapatkan kecuali daging bangkai maka dalam keadaan itu diperbolehkan baginya untuk memakan daging tersebut sekedarnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. [Al-Baqarah/2:173]
Namun demikian, timbul pertanyaan apabila perbuatan seseorang mengambil atau mengonsumsi perkara yang haram itu menyebabkan hilang atau rusaknya harta orang lain? Apakah ia wajib menggantinya ataukah tidak? Inilah yang dibahas dalam kaidah ini. Kaidah ini menjelaskan bahwa keadaan darurat meskipun menjadikan seseorang mendapatkan udzur untuk mengambil perkara yang haram dan tidak berdosa ketika ia melakukannya namun tidak berarti bahwa itu juga menjadi sebab diperbolehkannya menggugurkan (atau menghilangkan) hak orang lain. Sehingga apabila keadaan darurat menyebabkan seseorang terpaksa mengambil atau memanfaatkan harta orang lain maka ia tetap harus mengganti harta yang telah ia manfaatkan dari harta orang lain tersebut.[2]
DALIL YANG MENDASARINYA
Di antara dalil yang menunjukkan eksistensi kaidah ini adalah beberapa nash firman Allâh Azza wa Jalla dan sabda Nabi yang menjelaskan tentang haramnya mengambil harta seorang Muslim dengan cara yang batil. Di antaranya firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesama kamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. [An-Nisâ’/4:29]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla melarang para hamba-Nya yang beriman dari memakan harta sesama mereka dengan cara yang batil. Larangan ini mencakup memakannya dengan cara merampas, mencuri, atau mengambilnya dengan perjudian, dan cara-cara hina lainnya.”[3]
Adapun dalil dari as-Sunnah di antaranya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu riwayat Muslim. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
Setiap orang Muslim terhadap Muslim lainnya adalah haram darahnya, hartanya dan kehormatannya[4]
Demikian pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَ يَحِلُّ ماَلُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسِهِ
Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan darinya.”[5]
Demikian pula di antara yang mendukung eksistensi kaidah ini adalah beberapa kaidah fiqih berkaitan dengan keadaan darurat yang dialami oleh seorang insan. Di antaranya :
الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
Madharat tidak boleh dihilangkan dengan madharat lainnya
الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِمِثْلِهِ
Madharat tidak boleh dihilangkan dengan madharat semisalnya
Kaidah ini mengharuskan adanya dhoman (ganti rugi) atas harta yang diambil dan dimanfaatkan oleh orang yang sedang mengalami keadaan darurat. Jika tidak demikian, berarti itu adalah betuk menghilangkan madharat dengan madharat lainnya, atau dengan madharat semisal, atau bahkan dengan madharat yang lebih besar dari madharat pertama, dan ini bertentangan dengan kaidah tersebut.
Al-Bazdawi mengatakan, “Sesungguhnya pengaruh keadaan darurat nampak dari gugurnya dosa, bukan hukumnya yang gugur. Maka wajib bagi seseorang yang mengalami keadaan darurat membayar ta’wîdh (ganti rugi). Barangsiapa mengalami kelaparan boleh baginya memakan harta orang lain namun (kewajibannya) ganti rugi tidak gugur darinya.[6]
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Banyak permasalahan fiqih yang tercakup dalam kandungan kaidah ini.[7] Berikut ini beberapa contoh darinya :
- Jika seseorang dalam keadaan lapar sehingga terpaksa memakan makanan orang lain, maka ia wajib mengganti makanan itu atau membayar ganti rugi kepada pemiliknya. Karena keadaan darurat tidak menggugurkan hak orang lain.[8]
- Apabila sebuah perahu dikhawatirkan akan tenggelam karena banyaknya muatan, kemudian si pemilik perahu itu melemparkan sebagian barang milik penumpang ke laut, maka ia wajib mengganti barang yang dilemparkan tersebut kepada pemiliknya.[9]
- Apabila seseorang menyewa perahu selama jangka waktu tertentu, kemudian ia tidak bisa mengembalikan perahu itu tepat waktu dikarenakan adanya penghalang berupa ombak yang besar atau semisalnya yang menyebabkan keterlambatan sampai di daratan, maka dalam keadaan ini ia wajib membayar ganti rugi kepada pemilik perahu sesuai standar harga sewa secara umum dan sesuai kadar lamanya waktu tambahan dari pengembalian itu.[10] Hal ini dikarenakan keadaan darurat yang dialami si penyewa tidak menggugurkan hak si pemilik perahu tersebut.[11]
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVIII/1435H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Yang dimaksud dengan keadaan darurat adalah suatu keadaan yang dialami seseorang, apabila tidak diatasi maka akan menyebabkan hilangnya kemaslahatan orang tersebut yang bersifat dharuri. (Lihat –Qawâ’id wa adh-Dhawâbith al-Fiqhiyyah ‘inda Ibni Taimiyyah fi Kitâbai at-Thahârah wa as-Shalâh karya Syaikh Nashir bin ‘Abdillah al-Maiman, hlm. 288)
[2] Lihat pembahasan kaidah ini dalam Qawâ’id Ibni Rajab, hlm. 136, dan Syarh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, karya Az-Zarqa, hlm. 161.
[3] Taisîr al-Karîm ar-Rahman fi Tafsîr Kalâm al-Mannân, 2/54.
[4] HR. Muslim no. 2564.
[5] HR. Ahmad. Lihat Kunûz al-Haqâiq fi Hadîts Khair al-Khalâ’iq karya al-Munawi 2/175.
[6] Kasyfu al-Asrâr karya al-Bazdawi 1/1511. Lihat al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Mâ Tafarra’a ‘anha karya Syaikh Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlan, hlm. 300.
[7] Lihat al-Qawâ’id karya Ibnu Rajab, hlm. 36. al-Qawâ’id wa al-Fawâid al-Ushûliyyah karya Ibnu al-Laham, hlm. 34. al-Furûq karya al-Qarafi, 1/95.
[8] Apabila barang yang dimanfaatkan tersebut berupa barang yang ada semisalnya maka wajib diganti dengan barang semisal. Jika tidak maka diganti dengan membayar harganya. (Lihat al-Qawâ’id al-Kulliyyah wa adh-Dhawâbith al-Fiqhiyyah karya Dr. Muhammad ‘Utsman Syabir, hlm. 227).
[9] Lihat al-Wajîz fi Îdhâh Qawâ’id al-Fiqh al-Kulliyyah, hlm. 186; al-Qawâ’id karya Ibnu Rajab, hlm. 36. al-Qawâ’id al-Kulliyyah wa adh-Dhawâbith al-Fiqhiyyah karya Dr. Muhammad ‘Utsman Syabir, hlm. 228.
[10] Lihat al-Wajîz fi Idhah Qawâ’id al-Fiqh al-Kulliyyah, hlm. 186
[11] Diangkat dari kitab al-Mufasshal fi al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Dr. Ya’qub bin Abdul Wahhab al-Bahisin, Cet. II, Tahun 1432 H/2011 M, Dar at-Tadmuriyyah, Riyadh,Hlm. 270-272.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/5736-darurat-tidak-menggugurkan-hak-orang-lain.html